Sidang tesis. Lika-liku perjalanan gelar ketiga

23 Juli 2023 oleh Faiq Najib


Alhamdulillah berkat ridho Allah SWT, doa keluarga dan teman-teman, saya menyelesikan sidang tesis pada 21 Juli 2023 untuk yang ketiga selama hidup saya. Jadi, begini ceritanya…

Pertanyaan iseng dan dorongan dari orang tua #

Semua berawal saat perkuliahan saya yang saat itu akan memasuki semester dua. Menurut peraturan di kampus, akan dijalankan proses pergantian dosen wali. Itu adalah dosen pembimbing tesislah yang akan menjadi dosen wali mahasiswa bimbingannya.

Saya pun resmi menjadi mahasiswa bimbingan Prof. Erma Suryani, ST., MT., Ph.D. sebagai hasil akhir dari pengumuman alokasi dosen pembimbing tesis. Alhamdulillah abstrak singkat terkait rencana penelitian tesis saya disetujui beliau.

Setelah meminta kontak beliau lewat staf tata usaha jurusan, saya menghubungi Prof. Erma dengan sigap. Memperkenalkan diri saya sebagai mahasiswa bimbingan beliau yang baru sekaligus menanyakan terkait perwalian dan pengisian Formulir Rencana Studi (FRS).

Beliau pun membalas pesan saya tanpa menunggu waktu lama. Pengalaman yang cukup berbeda dibandingkan saat D3—Ehem. Omong-omong, Prof. Erma pun langsung menyetujinya.

Orang tua menanyakan kemungkinan saya menyelesaikan studi dalam tiga semester. Sehingga membuat saya harus melaksakan ujian proposal tesis di semester dua ini.

Saya yang saat itu tak acuh pun hanya menyetujuinya. Apalagi setelah berbincang dengan teman-teman yang lain tentang kemungkinan dampak kalau gagal melaksakan ujian proposal tesis. Kata mereka cuma tidak mendapat nilai namun bisa diambil ulang di semester selanjutnya. Saya pun cuma, Oke, apa salahnya mencobanya. Sesimpel itu.

Mata kuliah Seminar Proposal pun saya ambil dan segera menghubungi dosen wali untuk melakukan finalisasi FRS. Lagi, beliau pun langsung menyetujuinya begitu saja.

Mulai dari sinilah saya beranggapan bahwa, oh mungkin kalau mahasiswa pascasarjana sudah benar-benar dianggap harus bertanggung jawab pada perkuliahannya sendiri.

Saya kembali teringat bahwa mahasiwa harus lebih mandiri ketika kuliah pascasarjana. Itulah apa yang dijelaskan saat orientasi awal dan juga kata orang lain. Ungkapan itu juga yang menemani masa perkuliahan semester 2 saya.

Menjadi Seorang Deadliner #

Tugas dan bobot kuliah yang berbeda semakin terasa saat semester 2 mulai berjalan. Ditambah saya yang masuk sebagai mahasiswa RPL (Rekognisi Pembelajaran Lampau), mengharuskan saya mengambil satu mata kuliah dari program S1.

Membuat saya merasa kelelahan dalam menjalani perkuliahan di kala itu. Hingga terbesit pemikiran bahwa lebih baik menyerah dalam ujian proposal tesis. Karena sisa waktunya bisa digunakan untuk beristirahat.

Tepat sebelum ujian tengah semester adalah momen terberat selama menjalani perkuliahan. Saya akhirnya menumpahkan kekesalan dan menangis di dalam sujud. Bahkan protes kepada orang tua atas beban perkuliahan saya. Beliau tak tega dan mengizinkan saya untuk berhenti kuliah jika memang terlalu berat.

Rentetan kejadian itu membuat saya semakin malas dalam menyusun proposal tesis. Melihat teman kuliah yang mulai rajin membaca artikel/jurnal ilmiah hingga menceritakan pengalaman bimbingannya pun tak memberikan dorongan pada saya.

Hingga tepat pekan perkuliahan ke-12, saya menyelesaikan draft awal proposal tesis meskipun masih dalam kondisi setengah hati. Lalu mulai menghubungi dosen pembimbing untuk melaksakan bimbingan.

Kedua teman saya, Titan dan Fadlil, ikut berkomentar bahwa saya sudah cukup terlambat untuk memulai penyusunan proposal tesis. Masa bodoh. Toh emang nyoba. Kalau ditolak beliau, ya sudah, begitulah pikir saya.

Tanpa diduga, Prof. Erma malah memberikan saran dan secara garis besar masih memberikan lampu hijau pada draft proposal saya. Sepertinya beliau mencontohkan ungkapan beliau, nggak usah takut, dicoba dulu aja.

Hari-hari dengan beberapa sesi bimbingan denan beliau pun terlewat. Tepat sebelum ujian akhir semester, beliau mengizinkan saya untuk maju seminar proposal tesis. Pada tahap ini sedikit demi sedikit, ungkapan bahwa penelitian S2 adalah mayoritas menjadi tanggung jawab mahasiswanya, mulai terasa.

Akhirnya, seminar proposal saya pun berhasil dilaksanakan dengan hasil revisi pada metode penelitian secara besar-besaran haha. Apa mau dikata, itulah hasil pengerjaan yang setengah hati (maaf ya, Prof!).

foto seminar proposal tesis Faiq

Seminar proposal tesis

Menjadi Seorang Deadliner (Lagi) yang Malas #

Singkat cerita, revisi draft proposal saya dapat diterima oleh para penguji. Meskipun disertai dengan beberapa catatan untuk pengerjaan tesis saya mendatang.

Hari-hari pasca pengumpulan draft proposal pun terisi dengan beragam kegiata. Dari yang mulai mencari hiburan dengan membaca webtoon/manhwa, bermain gim Battle Realms, hingga melanjutkan belajar terkait pemrograman.

Tanpa disadari, perkuliahan semesester 4 sudah berjalan. Membuat saya melewati tiga atau empat pekan liburan semester dengan cepat.

Melihat saya yang setiap hari hanya luntang-lantung dengan tanpa mengerjakan tesis, ibu pun menegur. Namun saya berdalih masih lelah dengan padatnya perkuliahan di semester 2.

Rentetan kegiatan seperti mencari hiburan, menghilangkan lelah/stres, menenangkan pikiran, hingga pemikiran busuk bahwa saya masih ada “spare 1 semester”. Apalagi di tengah semester 3 ini, kekesalan dan ketakutan akan pengalaman yang berkaitan dengan “masalah wanita” pun—Ehem. Pada intinya semua itu sebagai dalih agar saya dapat menunda dan bermalas-malasan.

Alhasil, saya lagi-lagi mengerjakan tesis dengan setengah hati namun dengan penuh kesadaran bahwa penelitian tesis adalah hampir sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya.

Di sini juga saya merasakan pengalaman dosen pembimbing yang memberikan kebebasan pada mahasiswanya. Kebebasan dalam artian apa pun, mau mengerjakan tesis seperti apa, bahkan tidak mengerjakan pun sepertinya tidak apa-apa.

Apa yang saya alami itu berdampak proses pengerjaan saya pun jadi sangat lambat. Terasa saya melakukan bimbingan tesis hanya dua pekan hingga sebulan sekali.

Ketika melihat kesempatan dalam mengatasi hambatan dalam pengerjaan tesis pun, saya dengan polosnya berkata bahwa harus melakukan studi lapangan sebelum ujian tengah semester. Tidak menyadari seberapa lambat progres pengerjaan tesis saya sendiri.

Tepat setelah libur Hari Raya Idul Fitri, saya melakukan bimbingan pengerjaan tesis sekaligus melaporkan progres saya sejauh ini. Namun sebuah ucapan keluar, sepertinya banyak progres yang akan disampaikan, nih. Ucap pembimbing saya dengan senyum.

Lepas itu, saya kembali berusaha menata hati dan niat dalam pengerjaan tesis dengan perlahan. Mengurangi kegiatan penuh dalih sebelumnya, walaupun susah.

Berkali-kali saya terjebak kegiatan-kegiatan itu lagi dan menunda pengerjaan tesis saat saya mendapati kesulitan. Ditambah ingatan yang terpatri bahwa kalau belum mentok, baiknya jangan tanya ke dosen pembimbing. Harus usaha sendiri dulu.

Kegiatan dengan fase-fase yang berulang seperti itu terus terjadi. Progres pengerjaan tesis masih saya dorong sebisa mungkin agar dapat melakukan sidang tesis di semester ini. Lebih baik selesai dengan hasil seadanya. “Lolos” lebih baik dari “lulus”, begitulah pikir saya.

‘Karena “lolos” berarti hanya sekedar selesai dengan hasil seadanya, sedangkan “lulus” berarti mempunyai hasil yang baik dan dapat dikatakan layak.’ ungkapan konyol teman-teman kelas D3*

Dengan saya yang mempercepat pengerjaan tesis dengan gila-gilaan, model penelitian tesis saya pun selesai tepat dua pekan sebelum batas akhir pendaftaran. Bersamaan dengan sesi bimbingan tesis terakhir dengan Prof. Erma.

Hingga pada tahap draft buku tesis selesai dan diperiksa oleh beliau pun, masih tidak ada komentar apapun dari beliau. Entah sekadar komentar atau bahkan persetujuan beliau agar saya maju sidang jika saya tidak menanyakannya secara langsung.

Hal itu tentu sangat berbeda dengan semua pengalaman saya yang sudah melaksanakan dua kali sidang akhir. Meskipun itu saat D3 dan S1.

Dosen pembimbing yang sangat ketat dan memberikan “simulasi dunia nyata” (D3), hingga dosen pembimbing yang sibuk namun masih berusaha membagi waktu dengan mahasiswa yang beliau bimbing (S1). Keduanya sangat berbeda dengan dosen pembimbing saya sekarang. Entah itu karena sebagai treatment beliau atau karena saya yang sudah pernah bekerja, jadi saya dianggap lebih bisa bertanggung jawab dibandingkan teman seangkatan yang rata-rata baru lulus semua. Ah tidak, itu sih saya yang ge-er.

Sidang Tesis (Ke-3) #

Saya beruntung karena masih mendapatkan kesempatan mendaftar sidang tesis di pekan terakhir. Terutama setelah menghubungi asisten laboratorium yang bertanggung jawab membantu untuk menguruskan jadwal sidang tesis saya.

Semua berkas yang dibutuhkan sudah saya unggah dan kini hanya tinggal menunggu jadwal dirilis. Namun hingga hari Sabtu masih belum ada kejelasan jawal sidang tesis saya. Padahal saat proposal tesis dulu, pihak lab merilis jadwalnya juga hari Sabtu.

Saya pun menanyakannya pada asisten lab saat malam hari. Dan, fuala jadwal sidang tesis saya adalah hari senin.. pukul 8 pagi haha. Sungguh sebuah kejutan!

Dan, alhamdulillah untuk sekali lagi saya berhasil “lolos” dengan membawa topik penelitian “Pemodelan System Dynamics” yang sekaligus menjadi bidang keahlian Prof. Erma.

Ketakutan saya akan revisi yang akan diberikan Bapak Mudjahidin sebagai Penguji I, untungnya tidak terjadi. Baguslah, cukup sekali saja revisi besar-besaran yang diberikan beliau sebelumnya haha.

Ditambah, saya kembali beruntung saat Bu Mahe (yang barusan mendapatkan gelar profesor) tidak memberikan revisi atas rantai pasok. Ketakutan kedua yang tidak terjadi haha. Beliau malah memberikan revisi atas banyaknya salah ketik pada draft buku saya, sejalan dengan Prof. Erma. Yah, emang hasil yang diselesaikan dengan kecepatan penuh hehe (maaf lagi ya, Prof!).

Terlepas dari itu semua, saya bersyukur dapat melewati seminar akhir sidang tesis dengan baik. Terlebih setelah niat dan menata hati lagi dengan perlahan.

foto seminar akhir tesis Faiq

seminar akhir tesis

Pelajaran yang Dapat Diambil #

Setelah melalui satu tahun ajaran dengan banyak hal, saya sangat menyadari bahwa penting untuk mempunyai sifat persistensi, selain motivasi. Karena berdasarkan referensi, motivasi adalah sesuatu yang membangkitkan dan mengarahkan seseorang. Sedangkan persistensi adalah usaha terus-menerus seseorang menuju suatu tujuan.

Setiap orang mempunyai perlakuan yang berbeda, begitu juga dengan dosen. Ada dosen yang megetahui bahwa laki-laki akan menjadi pemimpin keluarga, sehingga beliau mendidik lebih keras pada mahasiswa bimbingan laki-laki dibandingkan yang perempuan. Ada dosen yang tidak mengapa kalau mahasiswa bimbingannya telat sidang, asal dia tidak kesulitan dan tergesa-gesa. Ada dosen yang memberikan kebebasan pada mahasiswa bimbingannya, tidak menagih progres mahasiswanya, hingga mengawasi seperlunya asal mahasiswanya masih on-track.

Terima kasih bagi yang sudah tersasar ke sini dan membaca curahan hati penulis hehe. Semoga Anda diberikan kesehatan dan rezeki yang berkah! Aamiin.

Sekian. Salam.